Beranda | Artikel
Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Amalan Baik
Rabu, 16 Desember 2009

Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [سورة الممتحنة:8].

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal?

Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.

Sebab Turun Ayat

Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir[1]. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik[2] dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Ini adalah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair.[3]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan,

أَتَتْنِى أُمِّى رَاغِبَةً فِى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – آصِلُهَا قَالَ « نَعَمْ »

“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya[4]. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)”[5]

Makna Ayat

Ibnu Jarir Ath Thobari –rahimahullah– mengatakan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu”. Setiap orang yang mempunyai sifat dalam ayat ini patut bagi kita berlaku ihsan (baik) padanya. Tidak ada yang dispesialkan dari yang lainnya.”[6]

Ibnu Katsir –rahimahullah– menjelaskan, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[7]

Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang

Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[8] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Larangan loyal terhadap orang kafir ini sudah diajarkan oleh kekasih Allah –Nabi Ibrahim ‘alaihis salam- dan kita pun selaku umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan beliau. Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4)

Di samping ini adalah ajaran Nabi Ibrahim, larangan loyal (wala’) pada orang kafir juga termasuk ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)

Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[9]

Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)

Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala’ pada orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.

Fakhruddin Ar Rozi –rahimahullah– mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[10]

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung hubungan kerabat dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah melazimkan rasa cinta dan rasa sayang (yang terlarang) padanya. Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan dalam firman Allah,

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al Mujadilah: 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam.”[11]

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. ”[12]

Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim

Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam.

Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya[13] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[14]

Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.

Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.”[15]

Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An Nisa: 1)

Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).[16]

Oleh karenanya, silaturahmi dengan kerabat tetaplah wajib, walaupun kerabat tersebut kafir. Jadi, orang yang mempunyai kewajiban memberi nafkah tetap memberi nafkah pada orang yang ditanggung walaupun itu non muslim. Karena memberi nafkah adalah bagian dari bentuk menjalin silaturahmi. Sedangkan dalam masalah waris tidak diperkenankan sama sekali. Karena seorang muslim tidaklah mewariskan hartanya pada orang kafir. Begitu pula sebaliknya. Karena warisan dibangun di atas sikap ingin menolong (nushroh) dan loyal (wala’).[17]

Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.

Al Bukhari membawakan sebuah bab dalam Adabul Mufrod dengan ”Bab Tetangga Yahudi”dan beliau membawakan riwayat berikut.

Mujahid berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,

ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي

”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata,

آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!

“(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.”

”Abdullah bin ’Amru lalu berkata,

إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ

‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”[18]

Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[19]

Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat. Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22). Wajib bagi setiap muslim memiliki rasa benci pada setiap orang kafir dan musyrik karena mereka adalah orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta seperti ini dibolehkan.

Kedua: Menetap di negeri kafir. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً,إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً,فَأُوْلَـئِكَ عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?”. Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata : “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” (QS. An Nisa’: 97-98)

Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:

  1. Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
  2. Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.

Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut:

  1. Memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya.
  2. Merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya.
  3. Mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam pada dirinya.

Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[20] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[21]

Oleh karena itu, perilaku tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.

Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Hal ini diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan Allah Ta’ala pun berfirman,

وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2)

Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka. Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.[22] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib[23].

Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir. Bahkan diharamkannya hal ini berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama.

Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal

Perkataan Ibnul Qayyim  dalam Ahkam Ahlu Dzimmah:

Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[24]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[25]

Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[26] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini muncul karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan (berlaku baik) dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.

Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan para ulama (ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini? Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama tentang haramnya hal ini.

Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal acara-acara semacam natalan dan perayaan non muslim sudah ada sejak masa silam?! Di antara latar belakangnya karena tidak memahami surat Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami manakah bentuk ihsan (berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami utarakan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk wala’ dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana seringkali diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.

Semoga Allah memberi kepahaman.

 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

 

Baca Juga:


[1] Sebagian ulama pakar tafsir (seperti Qotadah) menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 berlaku untuk semua orang kafir. Jadi kita diperintahkan untuk berlaku baik dengan orang kafir. Namun menurut pendapat ini, ayat tersebut telah mansukh (dihapus) dengan surat At Taubah ayat 5 yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/19,Mawqi’ Al Islam). Akan tetapi, pakar tafsir lainnya tetap menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 adalah ayat yang tidak mansukh dan mereka berdalil dengan kisah Asma’ binti Abu Bakr (Lihat Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 170, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003 ).

[2] Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ibu Asma’ mati dalam keadaan musyrik. Sebagian ulama mengatakan bahwa ibunya mati dalam keadaan Islam. Nama ibu Asma’ ada yang menyebut Qoylah dan ada pula yang menyebut Qotilah. (Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89, Dar Ihya’ At Turots Al Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392). Qotilah adalah istri Abu Bakr yang sudah dicerai di masa Jahiliyah. (Lihat ‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari, Badaruddin Al ‘Aini Al Hanafi, 20/169, Asy Syamilah)

[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237, Al Maktab Al Islami Beirut, cetakan ketiga, tahun 1404 H.

[4] Makna ini berdasarkan riwayat Abu Daud. Al Qodhi mengatakan bahwa makna lain dari roghibah adalah benci dengan Islam. Jadi, ibunda Asma’ sangat benci dengan Islam, sehingga ia pun bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah masih boleh ia menjalin hubungan dengan ibunya. Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89.

[5] HR. Bukhari no. 5798.

[6] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muhaqqiq: Ahmad Muhammad Syakir, 23/323, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1420 H.

[7] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, 8/90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.

[8] Lihat Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307, Asy Syamilah.

[9] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138, Mawqi’ Ya’sub.

[10] Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi, 15/325, Mawqi’ At Tafasir.

[11] Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i, 5/233, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.

[12] Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003.

[13] Saudara ‘Umar ini bernama ‘Utsman bin Hakim, dia adalah saudara seibu dengan ‘Umar. Ibu ‘Umar bernama Khoitsamah binti Hisyam bin Al Mughiroh. Lihat Fathul Bari, 5/233.

[14] HR. Bukhari no. 2619.

[15] HR. Bukhari no. 2620.

[16] HR. Muslim no. 2556.

[17] Lihat pembahasan Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani dalam Al Wala’ wal Baro’, hal. 303, Asy Syamilah.

[18] Adabul Mufrod no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar. At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]

[19] Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, Prof. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, hal. 224-229, Maktabah Al Mulk Fahd Al Wathoniyah, cetakan pertama, 1425 H.

[20] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.

[21] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269

[22] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/484, Mawqi’ Al Islam.

[23] Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483.

[24] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.

[25] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.

[26] Semacam Yusuf Qardhawi, begitu  pula Lembaga Riset dan Fatwa Eropa.


Artikel asli: https://rumaysho.com/711-mengucapkan-selamat-natal-dianggap-amalan-baik.html